Sunday, March 29, 2009

Selamat jalan Pakdhe Ibadi...

Satu lagi keluarga dan saudara kita Pakdhe dan Eyang Ibadi telah dipanggil oleh Tuhan YME. dan tidak lama lagi kita semua akan menyusulnya. Ibadi meninggal pada Kamis, 26 Maret 2009 jam 13.15 setelah sempat dirawat di RSU Salatiga selama 4 hari. Jenasah dimakamkan esok harinya pukul 10 pagi di pemakaman umum Pertiwi Suci Ngentak Salatiga.

Iabdi adalah putra ke-2 R. Soejadi Partokoesoemo (Eyang Juru) atau Generasi ke-3 keluarga Haroen Soemodirdjo. Beliau lahir di Kudus pada tanggal 20 April1924. Hingga akhir hayatnya Beliau tidak menikah.

Selamat jalan Pakde dan Eyang Ibadi semoga arwahnya diterima oleh Tuhan YME. Kami dari Keluarga Besar Haroen Soemodirdjo mengucapkan ikut berduka cita dan mohon maaf sebesar-besarnya kepada keluarga besar Eyang R. Soejadi Partokoesoemo bila selama Beliau sakit hingga meninggalnya ada diantara kami yang belum/tidak sempat menjenguk maupun takziah.

Notes : Saya tidak punya koleksi foto Pakdhe Ibadi. Ada yang bisa kirim ke saya melalui email di bowok2006@yahoo.com ? Thanks sebelumnya.

Friday, February 27, 2009

Riwayat Haroen Soemodirdjo

Tidak banyak informasi yang kami peroleh tentang riwayat Haroen Soemodirdjo. Informasi singkat diperoleh dari wawancara eksklusif dengan Soegiarto (suami Sri Hartati, anak ke-3 pasangan Koesminah dan Soedjoed Wirjosoedirdjo), Sri Joeliati (anak ke-2 pasangan Koesminah dan Soedjoed Wirjosoedirdjo), Ibu Cicik (?) dan tulisan Sdr. Mekar Wijaya berupa wawancara dengan Siti Wardinah Soewardo (Thutuk, Ibu Sdr. Mekar Wijaya dan anak ke-2 pasangan Soewardo dan Siti Kasihan). Siti Wardinah Soewardo ini adalah cucu yang paling disayang oleh Haroen Soemodirdjo.

Dari para penutur di atas, menurut penulis Sri Joeliati-lah yang memiliki pengetahuan paling banyak tentang riwayat Haroen Soemodirdjo semasa hidup. Sri Joeliati sendiri pernah ngenger di Sebandar Notosoedirdjo (adik Tjoeidah yang paling kecil, saat itu bekerja sebagai wedana Semarang Kota) di Pindrikan, di Rumah Poernomo di Palmelan (sekarang Jalan Taman Beringin Semarang) dan di Soewardo di Halmahera. Ketika di Halmahera Sri Joeliati pernah diminta Siti Kasihan (istri Soewardo) untuk membantu mengawasi 4 anak-anaknya yang masih kecil-kecil, terutama Siti Wardini (Nunuk) yang sudah pacaran ketika SMP dengan Moeljono.

Siapakah Haroen Soemodirdjo itu ?

Berdasar catatan silsilah yang ditulis sendiri oleh Haroen Soemodirdjo serta penuturan Siti Wardinah Soewardo :

  • Beliau adalah putera tunggal dari Raden Soemodipoero, Asisten wedana Dempet Demak.
  • Beliau lahir antara tahun 1870 s/d 1880.
  • Beliau bekerja sebagai Klerk Kas Negeri Semarang
  • Haroen Soemodirdjo meninggal pada Juli 1957 dan dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang.

Hareon Soemodirdjo menikah dengan Tjoeidah pada kisaran tahun 1900 s/d 1910 dan dikaruniai 8 orang anak, 2 laki-laki dan 6 perempuan.

Tjoeidah sendiri adalah anak ke-6 pasangan Masbei Kartodirdjo dan Siti Ngaisah. Dalam buku Riwayat Keluarga Besar Haroen Soemodirdjo nama Tjoeidah ternyata ada 3 versi yaitu Soe’idah; Saidah; dan Tjoeidah, namun menurut penuturan Soegiarto yang benar adalah Tjoeidah. Tjoeidah lahir antara tahun 1882 – 1890, berdasar perkiraan dari silsilah anak ke 3 Masbei Kartodirdjo (Soeharti, kakak Tjoeidah) yang lahir pada tanggal 28 April 1880. Tjoeidah meninggal pada bulan Februari 1958 dalam usia 63 tahun, hanya terpaut 7 bulan dengan meninggalnya Haroen Soemodirdjo. Beliau dimakamkan di pemakaman umum Bergota Semarang.

Hasil perkawinan Masbei Kartodirdjo dan Siti Ngaisah melahirkan 8 orang anak, yaitu 2 putra dan 6 putri.



Ayah Tjoeidah, Masbei Kartodirdjo, meninggal pada tanggal 30 Juli 1938 sementara Ibunya, Siti Ngaisah, wafat pada tanggal 10 Agustus 1941. Keduanya dimakamkan di pemakaman umum Sidomulyo Kudus.

Haroen Soemodirdjo dan Tjoeidah Semasa Hidup

Keluarga Haroen Soemodirdjo berasal dari Demak, sementara Tjoeidah berasal dari Kudus. Haroen Soemodirdjo pribadinya tegas, disiplin, keras dan manja. Kerjaannya duduk-duduk, ngudud (merokok) dan sering minta para cucunya (Sri Joeliati dan Siti Wardinah Soewardo) mijit-mijit kakinya. Berbeda dengan Haroen, Tjoeidah pribadinya halus; lemah lembut; dan shollatnya sangat rajin. Kata Siti Kasihan kala itu “kalau Eyang Haroen kakung tidak dapat Eyang Tjoeidah, wah ndak tahu gimana tuh...!”

Di tempat Haroen Soemodirdjo bekerja, di kantor kas negara (klerek Kas Negara Semarang), ada 2 pemuda yang satu duda (Oerip) dan satunya masih bujangan (Soedjoed). Oerip dijodohkan oleh Haroen Soemodirdjo dengan Siti Katidjah (anak terakhir Haroen dan Tjoeidah) sementara Soedjoed dijodohkan dengan Koesminah (anak ke-4 Haroen dan Tjoeidah). Setelah menikah mereka semua tinggal bersama keluarga Haroen di Rejosari, termasuk Mochammad Alwi sekeluarga.

Ada cerita lucu kala itu... Karena waktu itu putra/i Mochammad Alwi paling banyak, kalau sore hari siapa yang masuk rumah tidak dihitung. Ada satu yang tertinggal dan tidur di emper sampai malam, sehingga Haroen dan Tjoeidah diingatkan oleh tetangga karena ada yang terkunci di luar.

Oerip selanjutnya dipindah ke Pekalongan dan Soedjoed ke Klampok Banjarnegara menjadi kepala dinas Transmigrasi. Soedjoed selanjutnya dipindah lagi ke dinas Transmigrasi Purwokerto. Disana Soedjoed kecantol dengan gadis cantik dan menikah lagi. Karena Koesminah tidak terima dan lapor ke atasan, akhirnya Soedjoed dimutasi. Padahal di Purwokerto sudah lumayan, memiliki 3 rumah yang salah satunya dibeli Koesniah (Martosoewito). Koesminah akhirnya kembali ke Semarang dan kumpul lagi dengan keluarga Haroen di Rejosari. Setelah dari Rejosari Haroen Soemodirdjo beserta istri, Mochammad Alwi dan Koesminah sekeluarga pernah tinggal di rumah Poernomo di Taman Beringin.

Ketika terjadi ribut-ribut Belanda mau masuk ke Semarang (tahun 1940-an), Haroen bersama lainnya lalu pindah dari Taman Beringin dan berkumpul dengan Soewardo di Halmahera. Waktu itu Soewardo masih bekerja di Dinas Pertanian Semarang.

Dan ketika terjadi clash Belanda dan Jepang, kantor Soewardo di Dinas Pertanian dikepung Belanda. Akhirnya Soewardo sekeluarga pindah ke Pekalongan, sementara Koesminah tetap tinggal di Semarang (di Pandean Lamper) bersama 2 putrinya, Sri Joeliati dan Sri Hartati. Karena Soewardo kasihan akhirnya mereka semua ikut diboyong ke Pekalongan, termasuk Soemardijah. Sebelumnya Koesminah sempat ngungsi ke Mranggen. Di Pekalongan akhirnya Koesminah mencari rumah sendiri di jalan Pesatean?. Ketika di Pekalongan itulah Soewardo beserta lainnya sempat pula mengungsi ke kantor Pegadaian Slawi, dimana Martosuwito kala itu bekerja sebagai Kepala Pegadaian Slawi.

Setelah aman Soewardo sekeluarga kembali ke Halmahera Semarang, sementara Koesminah tidak mau karena sudah mapan di Pekalongan. Namun putri ke-2 Koesminah, Sri Joeliati, ikut ke Semarang dan sekolah di sana. Sekembalinya ke Semarang, karena kerja terlalu keras Soewardo akhirnya terkena sakit liver dan meninggal dalam usia 67 tahun.

Bagaimana dengan Eyang Haroen dan Tjoeidah ? Apakah ketika itu mereka juga ikut diboyong oleh Soewardo ke Pekalongan ? Ataukah tetap tinggal di Halmahera ? Tidak ada yang tahu...! Namun setelah dari Halmahera Haroen dan Tjoeidah akhirnya pindah ke Eyang Slamet di Randusari. Haroen Soemodirdjo akhirnya meninggal di Randusari. Setelah Haroen meninggal, Tjoeidah tinggal bersama Napsiah di Pindrikan hingga meninggal dunia yaitu selang 7 bulan setelah meninggalnya Haroen Soemodirdjo.

Keturunan Haroen Soemodirdjo dan Tjoeidah

Dari hasil perkawinan Haroen Soemodirdjo dan Tjoeidah lahir 8 orang anak, 2 laki-laki dan 6 perempuan. Mereka adalah Soehardinah, Napsiah, Mochamad Alwi, Koesminah, Koesniah, Siti Kasihan, R. Slamet, dan Siti Katidjah yang selanjutnya kita sebut sebagai Generasi ke-2. Sementara dari seluruh putra-putri Haroen dan Tjoeidah di atas telah lahir 33 orang cucu, yang selanjutnya disebut sebagai Generasi ke-3. Saat ini seluruh Generasi ke-2 baik anak maupun menantu sudah meninggal, kecuali Eyang Sri Soedarmani istri dari almarhum Eyang R. Slamet.

Diagram/bagan di atas memperlihatkan silsilah keturunan Haroen Soemodirdjo dan Tjoeidah sampai Generasi ke-3. Hingga kini keturunan Haroen telah sampai pada Generasi ke-6, sebuah komunitas yang jika kita persatukan akan membentuk keluarga yang amat besar yang memiliki pertalian darah dan ikatan persaudaraan. Bayangkan jika PAGUYUBAN KELUARGA BESAR HAROEN SOEMODIRDJO bisa sebesar itu dan tetap bersatu hingga akhir jaman...! Indah bukan...?